Subuh itu gemricik air dari
watervang cukup deras dimusim penghujan dengan udara dingin yang menusuk tulang belulang disekujur tubuh Reni. Ditepisnya dinginnya suasana
watervang yang telah dibuat belanda pada masa penjajahan belanda di
bumi silampari ,sebutan hangat masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas tentang alam didaerah itu.Serta membayangkan sinar mentari hangat yang akan terbit pagi itu di balik jembatan gantung,kelang beberapa setapak dan menatap indah dibawah air terjun dari atas jembatan tersebut dengan bui-bui disungai .Suasana yang khas ini tak ditemukannya sepeninggalnya di Palembang dulu. Dengan ditemani nyanyian burung yang berkicau harmonis seperti melodi indah yang menggema terbawa deru arus sungai kelingi disebelah rumahnya, setelah salat subuh ia melipat
telekung, yaitu perangkat untuk sholat yang biasa dipakai perempuan melayu termasuk daerah didaerah lubuklinggau.Setelah itu pikirnya pun melayang dan ingin membuka memori-memori indah yang menjadi hal paling istimewa dalam hidupnya. Ia raih buku agenda berwarna merah jambu yang ada di
gerobok dengan tangan yang masih basah usai mengusap bening berkilau usai bermunajat disubuh tadi
,di
gerobok itu Reni
tempat menyimpan perkakas pribadinya dan memandang catatan yang tersusun begitu rapi dan indah dengan goresan tinta biru.
Lalu Reni berjalan sendiri menyusuri jalan setapak tangga hingga jembatan watervang sambil membawa lembaran-lembaran harapan yang sudah tercecer rusak dengan warna merah muda yang sengaja ia bawa untuk dibaca diatas jembatan watervang yang mengalir air terjun dibawahnya. Tak disangka apalagi bermimpi waktu membawanya pada detik ini,Reni terus membawa balutan pilu yang berasal dari sela-sela munajatnya disepertiga malam serta di subuh tadi, dan di tengah jembatan gantung yang usang ini sambil memandang sungai Kelingi yang setiap waktu mengalirkan air-airnya mengairi sawah-sawah petani.
Rasanya Reni bertekad ingin berlari sekuat-kuatnya dari cengkeraman dunia yang sudah berhasil membuat pikirnya tak ingat apa yang sering diucapkan emaknya setiap ia berkunjung kerumah emaknya yaitu segala sesuatu milik allah dan akan kembali pada allah .Ia mencoba keluar dari semua lingkaran hitam yang sudah menutupi sebagian hidupnya. Impian-impian kecilnya yang ia mulai rajut dari sejak jadi aktivis dikampus sampai waktu jadi istri dan jadi orang tua bagi anaknya beberapa tahun silam. Kini ia benar-benar hanya ingin pergi sejauh mungkin.
Selalu gundah gulana qolbunya walaupun terus setiap pekan diberi asupan gizi berbentuk motivasi oleh Murobbiah -- sebutan guru pengajiannya-- tapi rasa itu terus membayangi dan mengejarnya dikala Reni memejamkan kedua mata sendunya saat malam hari tiba. Peristiwa indah yang dengan susah payah ia ciptakan,Berat rasa hati dan memaksanya untuk merelakan kepergian semua yang ia miliki tanpa tersisa. Peristiwa yang menjadikan seorang aktivis yang dulu energik harus mengalah pada kehidupan sejati miliknya.
***
dibaca buku itu di tengah jembatan watervang setelah memandang beberapa menit batu kecil yang dipukul oleh air terjun di bawah jembatan yang ia naiki itu.
Lalu ia buka lembaran-lembaran jembatan pelangi yang rusak itu dan memfokuskan pada tangga l9 September yaitu hari yang mana tepat hari ini ditahun yang berbeda peristiwa penting terjadi dalam hidupnya secara bersamaan.yaitu peristiwa ta’aruf yang menjadi awal proses peminangan dengan arif suaminya yang bersamaan dengan disematkan toga di atas jilbab hitamnya yang ia usahakan selama empat tahun diiringi sibuknya ia sewaktu jadi aktivis pergerakan dikampusnya dulu, yang seketika merubah nama aslinya dengan sedikit embel-embel dibelakang namanya ,disela semilirnya angin yang mendayu mesra berhembus di bumi silampari,Reni mulai membuka lembar demi lembar catatan-catatan bersejarahnya.
Disuatu senja yang cerah 13 tahun lalu. Termaktub isinya anakku Anisa 9 September di tahun berikutnya pada catatan itu yaitu kelahiran putrinya yang bernama Anisa di kota permai Palembang disebuah rumah yang berada dihilir sungai Musi namanya rumah limas,rumah khas sumatera selatan ini menjadi pondok keluarga kecil Reni bernaung.
***
Aroma air sungai Kelingi yang sejuk tak dapat menghentikan jari jemari Reni untuk terus membuka catatan bertinta biru ini.
Putrinya kini beranjak delapan tahun “Anisa” begitu panggilanya, rencana Reni dan Arif pada hari itu Anisa diikutkan kompetisi festival Musik yang diadakan sekolahnya SD-IT,Sudah sebulan ini ia latihan dengan tekun.lalu di depan ayahnya ia memamerkan kepiawayannya bermain biola yang merupakan hasil latihannya selama ini dengan melodi-melodi lagu “umi” dari Haddad Alwi dan Sulis,beberapa komentar diutarakan abi,panggilan akrab anisa kepada ayahnya “pasti yang menang anak abi besok”kata abi anisa sambil mengusap jilbab Anisa,“baguskan karena masakan umi bi”kata Anisa yang lugu yang berusaha melucu.Anisa adalah anak yang kreatif tapi cerewet yang sering membuat umi dan abinya kualahan tapi kedua orang tua sangat sayang kepada Anisa,selesai memamerkan kepiawannya menggesek biola dengan jemari kecilnya, dari jarak 5 meter umi anisa tepuk tangan tanda kagum dengan talenta anak yang sangat disayanginya itu dan ia berberjanji kalau tampilnya nanti pada saat lomba bagus akan diajaknya anisa liburan kekampung halaman uminya dan melihat air terjun watervang ,yang sering diceritakan uminya sebelum ia menyelami mimpi dibeberapa malamnya.Anisa meloncat kegirangan dan tidak memperdulikan pujian dari sang ayah yang berkata bahwa pagi ini ia terlihat sangat cantik.
***
Keesokan pagi harinya lantaran lomba usai Anisa dengan bibirnya yang tipis berkata dengan senyum bak kejatuhan mutiara dari langit lantaran abinya mengatakan tampilnya sempurna.
“Umi…..umiii ! nanti kalau liburan umi,abi,dan Anisa jadikan kerumah nenek di Linggau kan sudah janji,anisa mau lihat air terjun watervang”katanya sambil bersandar dipelukan uminya
“Umi,janji deh nenekmu juga kan kangen sama anisa”pungkas Reni.
Sebetulnya Reni sudah tahu bahwa anaknya juara dalam perlombaan yang diadakan sekolahnya kemarin lantaran jurinya adalah temannya satu Aliyah dulu ketika sama-sama pakai putih abu-abu.Keluarga kecil ini sangat bahagia karena mereka masih diberikan keharmonisan keluarga yang begitu mahalnya bila diuangkan tak cukuplah seisi jagad raya untuk menggantikan kebahagian keluarga ini,semua kejadian-kejadian ini adalah sebagian kecil dari begitu harmonis keluarga ini.
Dihari ini Reni spesial memasak
empek-empek kapal selam yang telah disediakan dimeja makan dan pindang tulang kesukaan suaminya yang belum selesai dimasak, kring…..kring…. deringan telepon yang memanggil tuan rumah cukup lama menyadarkan Reni dari kesibukan memasak Pindang tulang dengan resep dari ibu mertua kesayangannya dengan berbagai bumbu yang dibeli dari pasar PAL5 yang berada tak jauh dari rumahnya. Dengan langkah setengah berlari, ia bergegas menuju sebuah meja disebelah kursi garuda diruang tamu, lantaran tangannya kotor ia basuh dengan lap yang bermotif batik bekas bajunya pada saat ospek waktu kuliah dulu , suara deringan terhenti,ketika baru ia mengangkat telepon yang sudah dimakan usia lalu Ia hanya menghela nafas karena belum sempat bicara, dan Ia rebahkan badannya dan menyeka keringat yang menetes di dahinya,lalu ia siap-siap mengambil kamera untuk
berfose dengan anaknya yang membawa
tropy dari lomba yang dipentaskan kemarin.
Telah cukup lama ia menunggu di atas kursi garuda karena sudah lama menunggu Seketika dering teleponnya berbunyi kembali meleburkan khayalan bahagianya diatas kursi garuda itu diangkat beberapa masa telepon yang bakal jadi veteran itu dan terkejutlah ia seakan hatinya tak bisa bicara seakan ia tak sanggup lagi hidup didunia matanya terpejam sejenak dan bening berkilau tak sempat tertahan lagi keluar dari mata birunya mengalir membasahi jilbab putihnya,tersedu-sedu sendirian dirumah sambil menunggu kedatangan jenazah saumi dan anaknya. Kabar paling menyakitkan dalam hidupnya. Kini sudah tidak ada lagi semua hanya bisa menjadi telaga air mata yang ditelaga itu bersemayam kedua orang yang disayang.Seakan tubuh ini lemas gagang teleponpun seketika terlepas dari tangan Reni.Tersiar kabar suami dan anaknya pada saat pulang dari sekolah kejadianya tepat saat suami tercinta menjemput putrinya yang memegang tropy kemenangan pertamanya yang sekarang semuanya hancur dilindas ban truk,hal ini terjadi lantaran mereka mengalami kecelakaan akibat tertabrak sebuah truk yang pengemudinya kantuk.
Begitu hancur hati Reni karena keluarga yang ia rajut siang malam tak akan kembali,hatinya bak teriris sembilu dan mukanya seketika pucat pasih dan bening berkilau mengalir membasahi seluruh jiwanya.
***
Sejak saat itu sangat butuh waktu untuk melupakan kedua orang yang disayang bahkan ribuan kali jilbabnya terguyur deras dibeberapa tahun ini lantaran masa lalunya.Takdir ini bagaikan memaksa Reni meminum kopi yang tak tercampur gula sedikitpun.Ratusan Konselor dan ratusan Psikiater sudah coba didatangi hasilnya nihil,Tapi masa-masa indah itu selalu terhirup disela-sela nafas Reni.beberapa ikhtiar malah membuat semangat hidupnya menurun.Reni dan Segala memori indahnya yang ia tenun di buku itu selalu bersatu dengan air mata yang menetes deras di setiap waktu. Mak yang melahirkan Reni dan Murobbiah Reni pun tak bisa mencegah kepiluan hatinya,tapi semuanya tidak berhasil menciptakan sebuah senyuman pun di wajah Reni yang sudah berselimutkan duka.
Kini ia harus menerima apa yang dikatakan takdir. Walau bayang-bayang wajah Arif, suami tercintanya dan celoteh manja Anisa pun selalu terngiang ditelinganya. Rajutan-rajutan mimpi pernah ia goreskan dengan tinta biru di buku catatan berwarna merah muda yang menjadi buku cerita kehidupannya kini sudah tidak lagi ia pedulikan.
Sekarang hanya bisa mengingat rumah Limas yang ia tempati dulu dan mengubur semua mimpi-mimpi indah.dan sekarang tampak terlihat samar setelah tiga tahun berlalu jauh lubuk hati memandang lalu dia teringat janjinya kepada Anisa untuk membawanya ke Watervang.
Watervang yang disekelilingnya berselimut embun pagi diatas jembatan wisata ini diiringi deru air terjun dari bawahnya . Dari kejauhan terlihat sosok samar-samar Arif dan Anisa yang berlari menjauhi Reni sambil melambaikan tangan dan menuju hilir sungai Kelingi mereka berlari semakin jauh dan semakin jauh,tetesan bening berkilau terus mengalir menetes dan satu-persatu jatuh kesungai yang airnya jernih seakan air sungai Kelingi terus membawa jauh luka lara dihatinya dan akhirnya senyum Reni merekah bak bangkit dari masa suram yang ingin membuang jauh-jauh masa lalu dan memandang jauh kemasa depan.
***
Dan ia lempar buku bagaikan melempar dengan batu seekor ular berbisa yang akan mematuknya,buku berwarna merah muda itu seketika melayang di air terjun
watervang yang airnya begitu deras sehingga membawa kenangan-kenangan lalu menjauh terbawa arus Kelingi dan pada saat itu pula entah kenapa terhenyut pikirannya teringat tentang petuah mendiang bapaknya yang disemayamkan dikaki bukit Sulap 15 tahun lalu ,petuah ini terikrar ketika Reni masih gadis,dengan lembut bapak berkata“
oi Dehe bak,payo kalu nga linjang same sape be gek jengan 100% cukup 99% bae kecuali dengan allah”
lalu ia usap bening berkilau dimukanya lalu ia gerakan tubuh menuju surau kecil didekat rumahnya sambil menguatkan hati.
Palembang, 11-12 April 2011
21.00-03.00 dan 21.00-22.13
Tulisan ini ditulis oleh pemuda yang terlahir
di kota lubuklinggau 19 tahun yang lalu
,ia sekarang aktif mencari ilmu kesusastraan forum lingkar pena
Cab. Palembang sejak di KCM season 7.SEPRIANTO namanya
ia berusaha mengangkat unsur lokalitas daerahnya.
Ia sekarang kuliah Di fakultas Dakwah dan komunikasi
Jurusan BPI-Konseling A.