Oleh: A.Rifai Abun
Lektor Kepala (IV/c) dalam Mata Kuliah Filsafat Logika
Pada Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Fatah Palembang
Saat ini telah bermunculan bentuk-bentuk ketegangan dan konflik politik yang berakar pada kecurigaan antar kelompok. Saat ini begitu sulit untuk saling mempercayayi. Komunikasi macet akibatnya orang sulit menerima sebuah perbedaan. Ruang-ruang public dipasung dengan kebohongan, rekayasa, demagogi dan bahkan kekerasan. Antar kelompok yang satu dengan kelompok lainnya saling mencurigai. Maka akhirnya kekuasaan, tidak hanya dicari untuk kepentingan ekonomi, namun sudah mengarah untuk dijadikan alat balas dendam yang sangat menakutkan. Bagaimana janji dan pengampunan bisa memutus rangkaian lingkaran setan curiga-konflik-kekerasan?. Apa arti sebuah janji jika yang dihadapi adalah kebohongan dan kemunafikan?. Apa artinya maaf kalau kekerasan selalu terulang.
Dalam The Human Condition orang tidak lagi mau menjawab dari mana datangnya kejahatan politik yang tiada batas. Tetapi, mau menjelaskan bahwa dunia politik yang tidak totaaliter dicari dalam refleksi tentang sumber perlawanan terhadaap kesewenang-wenangan dan sumber yang memungkinkan kembalinya kondisi manusia. Kondisi semacam ini hanya ditemukan di dalam rekonstruksi ruang public yang bersifat pluralitas
Budaya politik dan idiologi mahasiswa
Ketika seseorang akan membicarakn tentang budaya politik tentunya tidak bisa lepas dari etika politik, yang lebih menekankan pada aspek aspek normative (moral dan etika) dalam kaitannya dengan praktik penyelenggaraan Negara. Cita-cita etika politik adalah semakin terbukanya keran kebebasan yang seringkali dimaknai sebagai democratic liberties – yang di dalamnya terdapat kebebasan sosio politik, sehingga bebas mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul dan termasuk juga kebebasan pers. Juga semakin terciptanya lembaga-lembaga yang lebih adil. Untuk terujudnya kebebasan semacam itu orang harus menerima “pluralitas”. Karena pluralitas menandai kondisi politik yang manusia, bukan kondisi penindasan, atau kekerasan dalam rezim totaliter.
Melakukan aksi politik sebagai wujud dari kebebasan tersebut, berarti juga mengambil sebuah inisiatif, menggerakkan, memulai untuk melakukan suatu yang lebih baik. Di Indonesia, tercatat aksi politik, yang dimotori oleh kalangan mahasiswa atau aktivis pada masa Orde Baru, yang dengan keberanian yang sangat luar biasa menetang rezim Soeharto. Kejatuhan rezim Soeharto tersebut berkat adanya perjuangan politik yang tanpa mengenal lelah yang dimulai dari kalangan kampus yang di dalamnya terdapat mahasiswa – yang pada diri mereka itu masih melekat sebuah idiologi murni yang bergerak dan digerakkan oleh sebuah pengabdian masyarakat (tridarma Perguruan Tinggi).
Idiologi murni yang dimiliki mahasiswa itu dalam perjalanan sejarah bangsa telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan, dimana ketika para sebagian dari pemimpin bangsa ini tidak lagi mengusung nilai-nilai kesejahteraan dan kesetaraan masyarakat, mereka tampil dengan label idiologi dan intelektualnya untuk melakukan dan mengusung nilai-nilai perubahan yang sangat besar, yang sekalipun harus ditebus dengan sebuah pengorbanan yang besar. Mereka (mahasiswa) dengan tanpa takut dan gemetar sedikitpun, terus maju dan menyuarakan suara rakyat yang sudah lama terbungkam dan terbelenggu dengan sikap kepasrahan.
Tesis dengan pemikiran “politik” yang dilandasi oleh tridarma perguruan tinggi yang telah menyatu pada dirinya dan bukan sebuah hafalan atau simbol kemahasiswaan, mahasiswa mampu menyelaraskan gerakan pro rakyat, dan mereka terus bergerak bersama-sama rakyat. Politik disini merupakan pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Karena kebutuhan terhadap politik lahir dari karakter kolektif kehidupan manusia. Oleh karenanya, kita tidak mempunyai pilihan untuk mempraktikkan politik. Sekalipun dunia politik seringkali dipandang sebagian orang dengan sikap sinis atau kotor. Namun, secara filosofis dan factual politik merupakan hal yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan seorang manusia. Dan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles (384-322 sm), bahwa man is by nature a political animal.
Sekalipun pada tahun-tahun sebelumnya terjadi kevakuman gerakan mahasiswa, yang selanjutnya mahasiswa dihadiahi SK Kopkamtib No Skep 02/kopkam/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang akibatnya gerakan mahasiswa kembali vakum. Lalu apakah yang terpikir oleh kita sebagai mahasiswa? Kenapa mahasiswa harus sadar dan santun politik? Mahasiswa adalah orang-orang yang berpotensi dan dalam gerakannya tidak di boncengi dengan kepentingan individu dan golongan tertentu. Dan mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang intelek harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, karena mahasiswalah harapan rakyat calon pemimpin bangsa, mahasiswa juga memiliki tanggung jawab sosial merealisasikan amanah rakyat yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.
Lalu bagaimana kacamata mahasiswa saat ini tentang politik? masih adakah ruh-ruh perjuangan dan perubahan di jiwa mahasiswa? ini menjadi cerminan kita sebagai mahasiswa yang katanya agent of change. Lalu dimana agent of change itu saat ini? Apakah anda merasa sebagai aktivis? coba lihat lagi bagaimana pergerakan aktivitas kita apakah sebatas menjadikan pergerakan itu hanya sebagai event organization saja. Tanyakan pada diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk mahasiswa yang terselimuti rasa was-was dan takut untuk melakukan koreksi terhadap kekuasaan, bahkan apatis terhadap apa itu “Politik”? Sehingga akhirnya berusaha untuk menjadi mahasiswa study oriented dalam keseharianya, lalu berusaha untuk mendapatkan IPK yang tinggi, selesai kuliah, cepat kerja dan membantu keluarga. Janganlah terjebak menjadi mahasiswa yang apatis yang arus berpikirnya ’hedonisme’. Karena menjadi ”Ahli Madya” saja tidak akan menjamin kita akan mendapat kerja dan hidup enak. Atau apakah dengan nilai IPK yang tinggi akan dapat meyelesaikan masalah Negara. Sadarkanlah diri kita untuk menjadi mahasiswa yang maksimal, dengan IPK tinggi sebagai wujud amanah dari orang tua, tapi tidak kalah bangganya ketika kita menjadi seorang mahasiswa yang selalu memberikan kontribusi positip dalam dalam menyelesaikan masalah Negara ini.
Di hari-hari terakhir ini sungguh sangat disayangkan dan bahkan disesalkan oleh banyak pihak, di mana di beberapa kampus, para mahsiswa sudah mulai memudar dalam membangun politik santun dan ini tidak terlepas dari kultur modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengikis idealisme mereka. Sehingga nampak lebih cendrung anarkhis, sporadis. Padahal, mereka memiliki peran besar sebagai ujung tombak perubahan, khusunya pada dunia politik. Untuk itu, kesadaran berpolitik mahasiswa perlu ditingkatkan dengan memberikan pendidikan secara formal ataupun nonformal di kalangan mahasiswa dengan cara membukan keran-keran dialog dalam menyamakan persepsi untuk kembali menata kampus yang lebih kondusif demi kepentingan bersama dan terujutnya tridarma perguruan tinggi.
Tantangan utama “etika politik” atau filsafat politik di Indonesia adalah “kekerasan” dan “ketidakadilan” yang terangkum dalam kalimat “KEJAHATAN”. Munculnya kejahatan tersebut diakibatkan oleh politik kekuasaan. Saat ini praktik kekuasaan bukan dijalankan atas dasar etika politik, namun justru untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Banyak sekali konsesi diberikan yang justru mengorbankan tujuan utama politik (kesejahteraan bersama). Kasus Susno Duaji, Gayus Tambunan, dan status DIY Yokyakarta yang hari-hari terakhir ini menjadi perbincangan yang serius di kalangan masyarakat banyak, dan kasus-kasus lainnya yang tak kunjung selesai adalah contoh yang representatif dari sebuah konflik kepentingan dan politik kekuasaan.
Tantangan utama “etika politik” atau filsafat politik di Indonesia adalah “kekerasan” dan “ketidakadilan” yang terangkum dalam kalimat “KEJAHATAN”. Munculnya kejahatan tersebut diakibatkan oleh politik kekuasaan. Saat ini praktik kekuasaan bukan dijalankan atas dasar etika politik, namun justru untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Banyak sekali konsesi diberikan yang justru mengorbankan tujuan utama politik (kesejahteraan bersama). Kasus Susno Duaji, Gayus Tambunan, dan status DIY Yokyakarta yang hari-hari terakhir ini menjadi perbincangan yang serius di kalangan masyarakat banyak, dan kasus-kasus lainnya yang tak kunjung selesai adalah contoh yang representatif dari sebuah konflik kepentingan dan politik kekuasaan.
0 komentar:
Posting Komentar