Rabu, 01 Desember 2010

Opini


Rakyatku Sayang, Rakyatku Tertindas
Karya: M. Anasrul Dwi N.




           
Penganiayaan Sumiati, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang bekerja di Arab Saudi, menambah daftar panjang kasus penganiayaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.
Menurut data Migrant Care, terhitung dari 5563 TKI, 1097 orang TKI merupakan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh majikannya. 3568 orang TKI menderita sakit akibat siatuasi kerja yang tidak layak. Sisanya 898 orang TKI menjadi korban kekerasan seksual.
            Ini membuktikan pengiriman TKI ke luar negeri sama saja dengan mengirim rakyat Indonesia ke neraka. Besarnya kasus penganiayaan yang dialami oleh TKI sungguh sangat tragis.
            Sumiati hanya satu dari ribuan TKI yang dikirim ke luar negeri yang kasusnya terpublikasi dan mendapat perhatian dari pemerintah. Yang kondisinya masih hidup, hanya saja luka menghiasi seluruh tubuhnya, mulai dari kulit kepala yang terkelupas, alis mata yang rusak, bibir bagian atas yang hilang akibat digunting oleh majikan yang mempekerjakannya, sampai-sampai mukanya sekarang tidak dapat dikenali lagi oleh karena tertutupi luka. Tidak hanya luka fisik yang dialami oleh Sumiati, luka psikis pun pasti dia alami, sehingga menimbulkan trauma yang cukup mendalam merasuki sanubarinya.
Keken Nurjannah, salah satu TKW asal Cianjur yang nasibnya lebih tragis dari Sumiati. Pasalnya, hidup Keken Nurjannah harus terhenti sampai disana. Dia tidak pernah berpikir sebelumnya jika dia harus meninggal di Tanah Suci namun bukan dalam mengerjakan ibadah haji, melainkan harus meninggal ketika menjadi seorang TKW yang mencari Riyal per Riyal.
Keken Nurjannah meninggal dikarenakan melompat dari lantai yang tinggi ingin mencoba kabur karena tidak tahan dengan perlakuan majikannya yang tidak manusiawi lagi.
Terhitung dari bulan Januari sampai Juni 2010, terdapat 118 kasus penganiayaan TKW yang terjadi di Negara tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan kasus penganiayaan terbanyak yang dialami tenaga kerja asal Indonesia dibandingkan yang terjadi di Negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan beberapa Negara lainnya.
Siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini, pemerintahkah yang harus disalahkan, penyalur tenaga kerjakah, atau apakah masih pantas rakyat yang disalahkan. Rakyat kecil yang telah menjadi korban. Korban baik di negeri sendiri maupun di negeri orang lain.
Muncul pertanyaan dibenak saya, apakah di Negara kita ini, negara yang tidak sengaja Tuhan berikan sumber daya alam yang melimpah, katanya hanya bermodalkan kail dan jala bisa menghidupkanmu, itu bukan lautan melainkan kolam susu. Negeri yang orang pikir selama ini adalah surga. Itu semua ternyata salah besar.
Terbukti, rakyat kita mengemis mencari rezeki di negeri lain, di tempat orang yang belum tentu menjadi sahabat kita. Kasus demi kasus terkuak. Kita hanyalah penilai dan penganalisis, sebab kita tidak bisa menghentikannya. Kita hanya rakyat kecil yang tidak ada pengaruhnya di negara ini.
Pada dasarnya, semua kasus di atas mulai dari penganiayaan, pelecehan seksual, sampai hilangnya nyawa tidak akan pernah dialami oleh masyarakat kita apabila mereka tetap bekerja di Bumi Pertiwi ini. Dan tidak perlu mengadu nasib ke negeri orang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi dan terjadi lagi, yakni antara lain; Pertama; Pemerintah tidak pernah tegas dan serius dalam menyelesaikan kasus ini. Pemerintah lamban dalam mengatasinya. Oleh karena itulah, para majikan yang mendapat pelayanan dari masyarakat kita semakin menjadi-jadi. Karena mereka tahu, pemerintah kita tidak akan menyelesaikan kasus ini. Sehingga mereka sewenang-wenang dengan masyarakat. Apakah itu yang diinginkan pemerintah ?
Mungkin prinsip pemerintah kita seperti ini, pemerintah akan bergerak apabila telah ada korban yang berjatuhan, karena pemberitaannya akan lebih hebat dan dahsyat. Beda halnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono atau lebih akrab disapa SBY.  Presiden kita satu ini hanya berkata mengutuk dan mengecam penganiayaan tersebut.
Kedua; munculnya lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, terdapat beberapa lembaga penyalur tenaga kerja yang tidak memiliki surat izin yang sah. Mereka harus tahu, penyaluran tenaga kerja bukanlah proses jual beli yang mana manusia menjadi barang dagangannya. Mereka tidak boleh ketika sudah menerima untung, lantas lepas tangan. Ini yang harus diubah oleh lembaga-lembaga penyaluran tenaga kerja.
Tentu saja, peran pemerintah terutama Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) sangat diharapkan untuk mengawasi lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja dalam menyalurkan tenaga kerja ke luar negeri.
Ketiga; berbeda budaya menjadi salah satu factor kasus ini selalu terjadi. Ataukah budaya kaum jahiliah dahulu hidup kembali, yaitu membunuh setiap anak perempuan. Jika hal ini terbukti, alangkah sadisnya negeri Arab.
Agar kasus ini tidak terjadi lagi, ada beberapa solusi kecil untuk pemerintah, yaitu Pertama; hentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Karena, mengirimkannya sama saja menyuruh rakyat kita sengsara.
Kedua; ciptakanlah lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat kita. Dengan begitu masyarakat tidak perlu ke luar negeri untuk mencari sesuap nasi.
Ketiga; pemerintah harus memberikan modal usaha kepada masyarakat yang memiliki kreativitas. Sehingga, selain mensejahterakan hidupnya siapa tahu akan menciptakan lapangan kerja sendiri dilingkungannya.
Atau seperti ini saja, pemerintah tutup semua lembaga tenaga penyalur kerja dan tidak perlu lagi mengirimkan rakyat kita untuk bekerja di luar negeri. Solusinya pemerintah harus menyiapkan lapangan kerja untuk rakyat, memberikan modal
Harus sampai kapan rakyat kecil menjadi korban, berharap akan lebih baik ketika bekerja di luar negeri, namun ternyata kehidupannya menjadi lebih buruk. Benar pepatah lama yang mengatakan Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Maksudnya seperti ini, sebaik-baik negeri orang lain, pasti terasa lebih baik dan nyaman jika berada di negeri kita sendiri.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi LPM Ukhuwah IAIN Raden Fatah 

0 komentar: